Sabtu, 12 April 2008

Rivalitas Pangan dengan Energi


“PM Inggris Risau Soal Pangan” demikian judul berita yang tercetak di salah satu halaman harian Kompas terbitan tanggal 11 April 2008. Beberapa bulan yang lalu di berbagai media di republik kita ini mewartakan berita bahwa pengrajin tempe merisaukan kenaikan harga kedelai yang ngak karuan jluntrungnya sehingga giliran berikutnya membuat risau segenap warga republik ini yang perutnya banyak menggantungkan pada produk pangan bernama tempe. Saking strategis dan dahsyatnya dampak yang dapat ditimbulkan dari kedelai sebagai bahan utama produk bernama tempe itu maka presiden republik ini sempat mengelar sidang kabinet terbatas dan mengeluarkan kebijakan khusus untuk mengamankan pasokan kedelai demi kelancaran produksi tempe.
Kenaikan gila-gilaan harga kedelai saat ini sebenarnya hanyalah salah satu dari kenaikan harga dunia komoditas pertanian pangan yang dapat diolah menjadi bahan bakar biofuel sebagai pengganti migas. Komoditas kopi yang notabene tidak diolah menjadi biofuel pun harganya di pasaran dunia ikut-ikutan naik sebagai akibat dari berkurangnya pasokan kopi eks negara Brazilia di pasar internasional dikarenakan begitu luasnya kebun kopi yang beralih menjadi kebun kedelai.
Nampaknya dampak dari peralihan fungsi komoditi pertanian dari pangan ke energi menjadikan kenaikan harga komoditas pangan saat ini sudah tidak lagi mengenal batas negara, tidak lagi mengenal apakah negara itu kaya ataukah miskin, tidak lagi mengenal apakah negara itu masuk dalam golongan under development countries ataukah negara maju……….. siapapun dia & apapun nama negaranya akan menikmati hal yang sama.
Kiranya cover majalah The Economist edisi bulan Desember 2007 dengan judul “The End of Cheap Food” dapat menjadi bahan renungan bersama sehingga mendorong kita lebih waspada dan dapat segera mengambil langkah terbaik untuk mengatasinya. Memanglah suatu ironi, republik ini yang konon sebagai negara agraris dan pernah diceritakan sebagai negara yang gemah ripah loh jinawi saat ini ketahanan pangannya perlu diwaspadai dan bahkan tidak banyak bisa menikmati rejeki nomplok dari adanya kenaikan komoditas pangan kecuali para tuan-tuan kebon sawit dan kopi…….akankah nasib warga republik ini nantinya menjadi seperti “tikus yang mati di lumbung padi” ?. Semoga tidak khan yach & apabila anda ingin membaca artikel terkait silahkan klik :

Tidak ada komentar: